Kabarkalimantan.id — Tim dosen dan mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) berkolaborasi dalam sebuah inovasi yang bertujuan mengatasi masalah sampah organik dengan mengubahnya menjadi suplemen cair dan padat berbasis nanomaterial karbon untuk tanaman. Inovasi ini muncul sebagai jawaban atas permasalahan serius yang dihadapi masyarakat, yaitu penumpukan sampah yang dapat menimbulkan bau tidak sedap, meningkatkan potensi penyebaran penyakit, serta merusak kualitas lingkungan.
Wipsar Sunu Brams Dwandaru, salah satu anggota tim dosen UNY, menjelaskan bahwa penanganan sampah organik yang menyeluruh dan berkesinambungan sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah tersebut. “Diperlukan upaya penanganan sampah organik yang menyeluruh dan berkesinambungan untuk mengatasi berbagai masalah sampah,” ujarnya saat memberikan keterangannya di Yogyakarta, pada Selasa (26/11). Salah satu pendekatan yang diambil oleh tim ini adalah menggunakan nanoteknologi, khususnya nanomaterial karbon, untuk mengolah sampah organik menjadi suplemen yang dapat bermanfaat untuk tanaman. Inovasi ini tidak hanya membantu mengurangi sampah, tetapi juga berkontribusi pada upaya mewujudkan konsep zero waste community berbasis ekonomi sirkular, yaitu memanfaatkan kembali bahan yang sudah ada untuk menciptakan nilai ekonomi dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Proses pengolahan sampah organik menjadi nanomaterial karbon ini dilakukan dalam kerangka Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) yang dilaksanakan di Kelurahan Warungboto, Kota Yogyakarta. Kegiatan ini didukung oleh dana dari Direktorat Riset, Teknologi, dan Pengabdian Kepada Masyarakat (DRTPM) Dikti tahun 2024. Dalam kegiatan ini, masyarakat turut serta dalam proses pengumpulan sampah organik yang berasal dari rumah tangga, seperti sisa makanan yang biasanya berakhir menjadi sampah. “Sampah tersebut kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari selama satu sampai dua hari. Setelah kering, sampah organik dimasukkan ke dalam oven bersuhu 200 – 250 derajat Celcius selama 30 – 60 menit hingga berubah menjadi cokelat kehitaman, tanda terjadinya karbonisasi,” jelas Brams.
Selain menggunakan oven, proses karbonisasi juga bisa dilakukan dengan cara disangrai menggunakan api besar. Setelah sampah menjadi arang, material tersebut kemudian dihaluskan menggunakan lesung atau alat serupa untuk menghasilkan serbuk arang organik. Serbuk ini kemudian dicampur dengan air dan direndam selama satu hingga dua hari, diakhiri dengan pemisahan padatan dan cairan dalam larutan yang telah diendapkan. Cairan yang dihasilkan dari proses ini dapat dimanfaatkan sebagai pupuk cair yang kaya akan unsur hara, sehingga dapat menutrisi tanaman dengan lebih efektif dan meningkatkan kualitas tanah. Sementara itu, sisa padatan yang terbentuk dapat diolah lebih lanjut menjadi media tanam untuk anggrek atau sebagai campuran tanah untuk jenis tanaman lainnya.
Brams menambahkan bahwa proses ini memiliki sejumlah keunggulan. “Selain mudah dilakukan, proses ini cepat mencegah terjadinya pembusukan pada sampah organik, sehingga minim bau setelah tahap pengeringan,” ujarnya. Hal ini sangat penting mengingat bau tidak sedap yang sering timbul akibat pembusukan sampah organik bisa menjadi masalah besar bagi masyarakat. Keunggulan lainnya adalah bahwa alat-alat yang digunakan dalam proses ini umumnya sudah dimiliki oleh masyarakat, sehingga biaya yang diperlukan untuk melaksanakan proses ini sangat terjangkau.
Namun, meskipun proses ini relatif sederhana dan efisien, Brams mengingatkan bahwa ada faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kecepatan pengeringan sampah, yaitu kondisi cuaca. Cuaca yang lembap atau hujan dapat memperlambat proses pengeringan sampah, sehingga berdampak pada lama waktu yang dibutuhkan untuk memulai tahap karbonisasi.
Melalui inovasi ini, tim dosen dan mahasiswa UNY berharap dapat memberikan solusi praktis bagi masyarakat dalam mengelola sampah organik secara lebih ramah lingkungan. Tidak hanya membantu mengurangi sampah yang menumpuk, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi dan ekologis melalui pemanfaatan kembali sampah menjadi produk yang berguna. Ke depannya, diharapkan bahwa lebih banyak komunitas di Yogyakarta, bahkan di seluruh Indonesia, dapat mengadopsi teknologi ini untuk mewujudkan lingkungan yang lebih bersih dan berkelanjutan.