Kabarkalimantan.id — Menjelang akhir tahun 2024, Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) terus menghadapi peningkatan jumlah kasus demam berdarah dengue (DBD). Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kaltim melaporkan bahwa hingga awal November 2024, jumlah kasus DBD di wilayah tersebut telah menembus angka 8.262 kasus. Ini menjadi lonjakan signifikan dibandingkan dengan angka kasus DBD yang tercatat pada akhir tahun 2023, yang hanya mencapai sekitar 6.000 insiden. Peningkatan yang tajam ini tentu menjadi perhatian serius, mengingat dampak DBD yang dapat berisiko terhadap kesehatan masyarakat, terutama di kalangan anak-anak dan kelompok rentan lainnya.
Penjabat Gubernur Kaltim, Akmal Malik, menyampaikan bahwa ia telah mendapatkan informasi terkait peningkatan kasus DBD yang terjadi di provinsi tersebut. Ia menyebutkan bahwa salah satu penyebab meningkatnya jumlah kasus ini adalah anomali pancaroba atau perubahan iklim yang terjadi belakangan ini. Menurutnya, fenomena perubahan iklim yang menyebabkan musim hujan dan musim panas yang tidak menentu, memberikan dampak pada pola penyebaran penyakit, termasuk DBD. “Perubahan iklim ini memberi pengaruh pada kondisi kelembapan dan suhu yang memungkinkan berkembang biaknya nyamuk penyebab DBD, yakni Aedes aegypti,” ujar Akmal Malik.
Menghadapi situasi ini, Akmal Malik bersama Sekretaris Daerah Kaltim, Sri Wahyuni, segera mengadakan rapat dengan Dinkes Provinsi Kaltim untuk merumuskan langkah-langkah mitigasi yang tepat. Salah satu strategi utama yang akan dilaksanakan adalah mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap potensi genangan air di lingkungan sekitar mereka. Genangan air yang terjadi, terutama di daerah cekungan seperti bekas tambang, dapat menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk Aedes aegypti. “Kami akan segera rapat untuk menentukan langkah-langkah terbaik yang harus dilakukan guna memitigasi meningkatnya kasus DBD,” tegasnya.
Dinkes Kaltim melalui Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P), Setyo Budi Basuki, melaporkan bahwa hingga Oktober 2024, kasus DBD di Kaltim sudah mencapai 8.262 insiden. Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) tercatat sebagai wilayah dengan jumlah kasus tertinggi, yakni 2.339 kasus. Sementara itu, Kabupaten Mahakam Ulu (Mahulu) melaporkan jumlah kasus DBD terendah, yakni hanya 36 kasus. Di sisi lain, Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU) mengalami lonjakan signifikan, dengan angka kasus yang melonjak dari 118 kasus pada 2023 menjadi 1.125 kasus per Oktober 2024.
Selain itu, Setyo Budi Basuki juga mencatat bahwa di tahun 2024 ini, sudah ada 18 korban jiwa akibat DBD. Sebagian besar kematian terjadi di Kabupaten Kutai Barat (Kubar), dengan 4 orang meninggal dunia, diikuti oleh Kabupaten Paser dan Kota Samarinda yang masing-masing tercatat memiliki 4 kasus kematian. “Semoga angka kematian tidak bertambah,” harap Setyo Budi Basuki.
Meskipun ada anggapan bahwa perubahan iklim menjadi salah satu faktor penyebab meningkatnya kasus DBD, Setyo Budi Basuki menegaskan bahwa penyebab utama meningkatnya insiden DBD di Kaltim bukanlah perubahan iklim semata. Kaltim, yang berada di wilayah ekuator, sebenarnya memiliki iklim yang cenderung basah sepanjang tahun. Oleh karena itu, meskipun wilayah lain di Indonesia tengah menghadapi musim kemarau, di Kaltim hujan tetap turun secara teratur. Kondisi kelembapan yang tinggi ini menyebabkan banyaknya genangan air yang memungkinkan nyamuk Aedes aegypti berkembang biak dengan cepat.
Untuk menanggulangi hal ini, Dinkes Kaltim terus mengupayakan berbagai program pencegahan, salah satunya adalah program vaksinasi untuk DBD. Namun, Setyo Budi Basuki mengungkapkan bahwa vaksin DBD masih terbatas dan harganya cukup tinggi. Oleh karena itu, Dinkes Kaltim hanya dapat mengalokasikan sekitar 1.000 dosis vaksin yang akan disalurkan secara bertahap. Program vaksinasi ini diprioritaskan untuk daerah-daerah dengan angka kasus yang tinggi, seperti Samarinda dan Balikpapan. “Fokus kami adalah kelompok usia yang paling berisiko, yaitu anak-anak di bawah 14 tahun. Namun, penyaluran vaksin ini juga bergantung pada kebijakan pimpinan,” jelas Setyo.
Selain vaksinasi, Dinkes Kaltim juga rutin melakukan fogging atau pengasapan sebagai upaya untuk menekan populasi nyamuk Aedes aegypti. Namun, Setyo menekankan bahwa fogging hanya efektif untuk membunuh nyamuk dewasa dan tidak dapat membunuh telur atau jentik nyamuk yang ada di genangan air. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya kerjasama masyarakat dalam upaya pencegahan DBD. Salah satu langkah yang dapat dilakukan oleh masyarakat adalah dengan menerapkan gerakan 3M, yakni menguras, menutup, dan mengubur tempat-tempat yang dapat menampung air, agar tidak menjadi sarang nyamuk.
Kerja sama antara pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan untuk mengendalikan penyebaran DBD di Kaltim. Upaya-upaya preventif yang dilakukan harus terus didorong, agar kasus DBD tidak semakin meningkat, terutama dengan adanya potensi peningkatan hujan di musim pancaroba. Program pemberantasan sarang nyamuk dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan menjadi kunci utama dalam menanggulangi wabah DBD yang terus meningkat di Kalimantan Timur.