HEADLINE: Cuti Berjamaah 148 Hakim: SHI Suarakan Tuntutan Kesejahteraan

Foto: Hakim di Makassar Mogok Kerja.

KabarKalimantan.id — Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) mencatat adanya fenomena luar biasa dalam sistem peradilan Indonesia, di mana sebanyak 148 hakim di seluruh Indonesia melakukan aksi cuti berjamaah selama satu pekan sejak Senin, 7 Oktober 2024. Aksi ini merupakan bentuk protes terhadap kondisi kesejahteraan yang dianggap tidak layak, terutama terkait dengan besaran gaji yang diterima oleh para hakim, khususnya yang bertugas di daerah-daerah dengan biaya hidup tinggi.

Camilla Bania Lombia, Juru Bicara SHI, menyatakan bahwa meskipun hanya 148 hakim yang melakukan aksi mogok kerja melalui cuti, jumlah hakim yang memberikan dukungan terhadap gerakan ini jauh lebih besar, mencapai sekitar 1.800 orang. Dukungan ini diwujudkan dalam bentuk solidaritas moral maupun donasi untuk mendukung gerakan tersebut.

“Jadi yang mendukung aksi gerakan ini tuh mulai dengan berbagai donasi dan segala macamnya, jumlahnya sekitar 1.800an hakim,” ujar Camilla dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (8/10). Dukungan ini mencerminkan adanya keprihatinan kolektif di kalangan para hakim terkait kesejahteraan dan ketidakpuasan terhadap kebijakan yang berlaku saat ini.

Camilla mengungkapkan bahwa alasan utama di balik aksi ini adalah kondisi kesejahteraan yang kian memburuk, terutama bagi hakim-hakim yang ditempatkan di daerah-daerah dengan biaya hidup yang tinggi. Mereka merasa bahwa gaji yang diterima sudah tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

“Kami telah mengangkat bendera putih atas kondisi ini. Hidup di daerah-daerah yang biayanya sangat mahal sudah tidak bisa lagi kami pertahankan dengan gaji yang ada,” tegas Camilla.

Kenaikan harga kebutuhan pokok, biaya transportasi, serta biaya tempat tinggal di beberapa daerah membuat para hakim semakin tertekan secara finansial. Hal ini diperparah dengan minimnya kenaikan gaji dan tunjangan yang tidak sebanding dengan peningkatan biaya hidup. Kondisi ini membuat para hakim merasa terabaikan dalam hal kesejahteraan, padahal mereka memegang peran krusial dalam menegakkan keadilan.

Salah satu sisi gelap dari krisis kesejahteraan yang dialami para hakim ini adalah bahwa banyak dari mereka yang terpaksa mencari pekerjaan sampingan demi mencukupi kebutuhan hidup. Namun, mereka tetap berusaha menjaga integritas profesinya dengan tidak melanggar kode etik hakim.

Camilla mengungkapkan bahwa dirinya sendiri mengambil beberapa pekerjaan sampingan yang masih sesuai dengan kode etik profesinya. “Untuk tetap menjaga integritas saya, saya banyak mengambil side job, seperti translation atau mengajar yang masih sesuai dengan kode etik hakim,” ungkapnya.

Fakta bahwa para hakim harus mencari sumber pendapatan tambahan menandakan adanya kegagalan sistem dalam memastikan kesejahteraan para aparat hukum. Ini sangat kontras dengan beban tanggung jawab yang mereka emban sebagai penegak hukum yang diharapkan tetap netral dan berintegritas tinggi.

Aksi cuti berjamaah ini mengungkapkan sebuah tantangan serius terhadap integritas dan profesionalisme peradilan di Indonesia. Ketika hakim-hakim yang bertugas di daerah-daerah sulit harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup, tekanan finansial ini berpotensi mempengaruhi independensi dan obyektivitas mereka dalam menjalankan tugas.

Meski banyak hakim yang tetap berusaha menjaga integritas mereka dengan mencari pekerjaan yang tidak melanggar kode etik, situasi ini tetap berisiko memengaruhi kualitas peradilan di Indonesia. Beban ekonomi yang berat dapat memicu godaan atau tekanan dari pihak luar, sesuatu yang seharusnya dihindari dalam sistem peradilan yang adil dan bersih.

Tuntutan SHI untuk Perbaikan Kesejahteraan

Melalui aksi ini, SHI ingin mengirim pesan tegas kepada pemerintah bahwa kesejahteraan para hakim harus menjadi prioritas. Mereka tidak hanya menuntut kenaikan gaji, tetapi juga perbaikan secara menyeluruh terhadap kebijakan kesejahteraan yang mampu menyesuaikan dengan kondisi kehidupan di lapangan, terutama bagi mereka yang bertugas di daerah-daerah dengan biaya hidup tinggi.

Aksi mogok ini bukan hanya tentang tuntutan individual, tetapi juga merupakan upaya kolektif untuk memperjuangkan kelayakan hidup bagi para penegak hukum yang bekerja demi menegakkan keadilan. Keberlanjutan aksi ini akan sangat bergantung pada respons pemerintah dan apakah tuntutan mereka akan diakomodasi dalam kebijakan ke depan.

Jika tuntutan ini diabaikan, kekhawatiran bahwa kondisi ini akan berdampak pada kualitas sistem peradilan Indonesia akan semakin nyata, terutama dalam hal keberlanjutan profesionalisme dan integritas para hakim yang menjadi fondasi tegaknya hukum di negeri ini.