News  

DPR Apresiasi Efisiensi Anggaran, Minta Evaluasi IKN

Writer: Redaksi | Editor: Sarina

Anggota DPR RI Bambang Haryo Soekartono. (ANTARA/int)

Kabarkalimantan.id — Anggota DPR RI Bambang Haryo Soekartono mengapresiasi langkah pemerintah yang melakukan efisiensi anggaran, termasuk anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) pada tahun 2025 yang tercatat sebesar Rp5,04 triliun. Menurutnya, langkah efisiensi ini bisa menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk melakukan evaluasi ulang terhadap proyek ambisius tersebut, yang telah menghabiskan dana besar sejak awal ditetapkan.

Bambang Haryo menilai bahwa meskipun proyek IKN sudah berjalan, pembangunan ibu kota baru ini perlu ditinjau kembali, terutama terkait dengan aksesibilitas dan anggaran yang diperlukan masyarakat untuk dapat mengakses IKN. Sebab, menurutnya, sebagian besar penduduk Indonesia masih berada di Pulau Jawa, dan mayoritas warga yang berkepentingan untuk mendatangi ibu kota negara dan pusat pemerintahan Jakarta menggunakan berbagai moda transportasi yang sudah ada, baik darat, laut, maupun udara.

“Pembukaan IKN sebagai ibu kota negara harus melalui kajian yang matang. Apalagi kita tahu, populasi terbesar Indonesia ada di Pulau Jawa. Setiap harinya, sekitar lima juta orang pergi ke Jakarta dengan menggunakan moda transportasi yang sudah terintegrasi. Tapi kalau IKN sudah beroperasi penuh, hanya ada dua moda utama yang bisa melayani, yaitu laut dan udara, yang kapasitasnya sangat terbatas,” ungkap Bambang Haryo di Surabaya, Senin (17/2).

Bambang menyampaikan, jika setiap hari sekitar satu juta orang harus menuju IKN dan menggunakan moda transportasi udara dengan tarif Rp1,5 juta per perjalanan, maka biaya yang dibutuhkan untuk pulang pergi bisa mencapai Rp3 triliun per hari. Jika dihitung selama satu tahun, biaya transportasi saja bisa mencapai Rp1.095 triliun, belum termasuk biaya akomodasi. Hal ini, menurutnya, akan menjadi beban besar bagi masyarakat dan bertentangan dengan prinsip efisiensi anggaran yang sedang dicanangkan oleh pemerintah.

“Ini angka yang sangat besar. Kita semua mendorong efisiensi anggaran, tapi dengan biaya sebesar itu, masyarakat akan kesulitan menyesuaikan anggarannya untuk transportasi dan akomodasi menuju IKN,” jelasnya.

Selain soal biaya transportasi, Bambang juga mengkritisi kapasitas bandara yang ada di IKN dan kota penunjangnya, seperti Balikpapan, dalam menangani potensi arus penumpang yang sangat besar. Ia mengungkapkan bahwa kapasitas Bandara IKN hanya mampu menampung sekitar 600 penumpang per hari, sementara Bandara Balikpapan yang merupakan bandara utama penunjang IKN hanya bisa menampung 15 juta penumpang per tahun atau sekitar 41.100 penumpang per hari. Sementara itu, proyeksi kebutuhan penumpang bisa mencapai 1,5 juta orang per hari.

“Kalau Bandara IKN hanya bisa menampung 600 orang per hari, Bandara Balikpapan hanya mampu menampung 41.100 orang per hari. Bagaimana caranya menampung 1,5 juta orang per hari? Kalau dihitung dengan jumlah pesawat yang ada di Indonesia, totalnya ada sekitar 480 pesawat, yang masing-masing memiliki kapasitas 150 kursi, berarti hanya bisa mengangkut sekitar 72 ribu penumpang per hari. Itu pun masih jauh dari kebutuhan yang sebenarnya,” tutur Bambang dengan nada kritis.

Pemerintah, kata Bambang, seharusnya memperhitungkan kapasitas infrastruktur transportasi dan akomodasi yang akan melayani IKN, mengingat besarnya kebutuhan masyarakat yang akan terlibat dalam mobilitas ke ibu kota negara yang baru tersebut.

Lebih lanjut, Bambang juga mempertanyakan apakah pemerintah telah melakukan kajian menyeluruh mengenai potensi beban ekonomi yang akan ditanggung masyarakat dalam hal transportasi dan akomodasi. Ia menekankan bahwa pemerintah harus memberikan pelayanan terbaik kepada rakyat, dan jangan sampai pembangunan IKN justru berbalik menjadi pemborosan anggaran yang membebani masyarakat.

“Saya melihat ini sebagai potensi pemborosan anggaran negara yang besar, baik pada tahap pembangunan maupun setelah IKN berfungsi penuh. Pemerintah harus memastikan bahwa masyarakat bisa menikmati layanan publik dengan biaya yang wajar, bukan malah terbebani dengan biaya yang sangat tinggi hanya untuk bisa mengakses ibu kota negara,” tegas Bambang.

Bambang juga menyampaikan bahwa proyeksi pengguna transportasi ke IKN belum termasuk jumlah Aparatur Sipil Negara (ASN) dan pekerja sektor swasta yang akan bekerja di sana. Diperkirakan, jumlah ASN dan pekerja swasta yang berkepentingan dengan IKN bisa mencapai dua hingga tiga juta orang. Hal ini tentu akan semakin memperberat beban sektor transportasi, terutama saat liburan dan cuti bersama, ketika mereka kembali ke kota asal.

Menurut Bambang, semua hal ini perlu dievaluasi kembali oleh pemerintah sebelum IKN benar-benar beroperasi sebagai ibu kota negara dan pusat pemerintahan. Ia mengklaim bahwa sejak awal, pada tahun 2017, ia sudah menyuarakan penolakan terhadap pembangunan IKN, seperti yang tercatat dalam jejak digitalnya pada 2017 dan 2019.

Namun, dengan proses pembangunan yang sudah berjalan, Bambang mengusulkan agar IKN tidak diposisikan sebagai ibu kota negara utama yang menggantikan Jakarta. Sebaliknya, ia mengusulkan agar IKN menjadi ibu kota kedua yang akan melengkapi Jakarta, terutama untuk melayani Indonesia bagian timur, tanpa menggantikan peran Jakarta sebagai pusat pemerintahan utama.

“Saya pernah menyampaikan usulan ini langsung kepada Prof. Bambang Susantono, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Otorita IKN dan kini menjabat sebagai Utusan Khusus Kerja Sama Internasional Pembangunan IKN. IKN bisa menjadi ibu kota yang melengkapi Jakarta, bukan menggantikannya,” ujar Bambang, mengakhiri keterangannya.

Bambang menegaskan bahwa evaluasi mendalam atas pembangunan IKN ini sangat penting agar tidak ada pemborosan anggaran yang berisiko membebani masyarakat. Pemerintah diharapkan dapat mempertimbangkan kembali berbagai aspek, seperti transportasi, akomodasi, dan keberlanjutan ekonomi, sebelum melangkah lebih jauh dengan proyek ini.