Kabarkalimantan.id — Perhelatan Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) di Baku, Azerbaijan baru saja selesai. Delegasi Indonesia, yang dipimpin oleh Hashim S Djojohadikusumo, memanfaatkan momentum tersebut untuk mengumumkan target ambisius Indonesia dalam sektor energi. Pemerintah Indonesia menargetkan penambahan kapasitas listrik sebanyak 100 Gigawatt (GW) dalam 15 tahun ke depan, dengan 75 persen atau sekitar 75 GW dari target tersebut diharapkan berasal dari energi baru dan terbarukan, seperti listrik hidro, geothermal, bioenergi, surya, dan angin.
Langkah ini dinilai sangat strategis untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia yang diperkirakan mencapai 8 persen, sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Rencana tersebut juga menjadi bagian integral dari komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon melalui transisi energi. Salah satu aspek penting dalam transisi energi ini adalah mengurangi ketergantungan terhadap pembangkit listrik berbahan bakar fosil, terutama Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara, dan beralih ke energi terbarukan.
Menurut data dari Dewan Energi Nasional (DEN), bauran energi kelistrikan Indonesia pada 2023 masih didominasi oleh PLTU batubara yang berkontribusi sebesar 40,46 persen, sementara energi baru terbarukan (EBT) baru menyumbang sekitar 13,09 persen. Meskipun demikian, berbagai pihak, termasuk para peneliti dan aktivis lingkungan, menyuarakan kekhawatiran terkait rencana pemerintah untuk menggenjot penggunaan bioenergi, khususnya pengembangan bioenergi berbasis monokultur yang dapat berisiko merusak hutan yang tersisa.
Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar) menjadi salah satu wilayah yang menjadi target pengembangan energi terbarukan berbasis bioenergi, khususnya untuk Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm). Sembilan PLTBm baru direncanakan akan dibangun di Kalbar dalam kurun waktu mendatang. PLTBm yang sudah beroperasi di Kalbar salah satunya adalah PLTBm Siantan, yang mulai beroperasi pada 23 April 2018, dengan kapasitas 15 Megawatt (MW) di Desa Wajok Hulu, Kabupaten Mempawah.
PLTBm tersebut mengadopsi teknologi gasifikasi, yang menggunakan bahan bakar dari berbagai limbah organik seperti cangkang kelapa sawit, kayu, sekam padi, tongkol jagung, ampas tebu, serbuk kayu, dan limbah pertanian lainnya. Namun, untuk menjaga keberlanjutan operasional PLTBm, diperlukan pasokan bahan bakar yang terus-menerus, yang berpotensi berdampak pada kerusakan hutan sebagai sumber biomassa. Proyeksi nasional menunjukkan bahwa sekitar 2,3 juta hektare lahan hutan dibutuhkan untuk memasok biomassa bagi pembangkit listrik terbarukan.
Beberapa perusahaan di Kalbar, seperti PT Hutan Ketapang Industri, PT Muara Sungai Landak, dan PT Gambaru Selaras Alam, telah mulai mengembangkan lahan tanaman energi untuk kebutuhan bioenergi. Ahmad Syukri, Direktur Link-Ar Borneo, menyuarakan kekhawatiran terkait ancaman terhadap masa depan hutan Kalimantan Barat yang menjadi sasaran proyek-proyek bioenergi. Ia mencatat bahwa sekitar 53 persen dari 8,3 juta hektare kawasan hutan di Kalimantan Barat adalah hutan produksi, yang berpotensi dialihkan fungsinya untuk hutan tanaman energi.
Sementara itu, Kalbar juga memiliki potensi energi surya yang sangat besar, berkat lokasinya yang berada di garis khatulistiwa. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), potensi energi terbarukan di Kalbar mencapai 25,5 GW, dengan 20,11 GW di antaranya berasal dari energi surya. Profesor Yusuf Ismail, pakar energi surya dari Universitas Tanjung Pura (Untan), menjelaskan bahwa Kalbar memiliki potensi radiasi matahari yang tinggi, menjadikannya sangat cocok untuk mengembangkan energi surya sebagai alternatif yang lebih ramah lingkungan dibandingkan biomassa.
Namun, pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dalam skala besar juga menghadapi tantangan terkait kebutuhan lahan yang luas. Meski demikian, PLTS yang dibangun di kampus Untan dengan kapasitas 1,5 MWp, yang merupakan pembangkit energi terbarukan terbesar di sektor pendidikan di Indonesia, telah menunjukkan bahwa pemanfaatan energi surya di Kalimantan sangat potensial. PLTS di Untan diperkirakan dapat menghasilkan 1.786,980 kWh per tahun dan diharapkan menjadi contoh bagi pemanfaatan potensi energi surya di seluruh Pulau Kalimantan.
Proyek PLTS ini juga mendukung pencapaian target pemerintah Indonesia untuk menambah penetrasi energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen pada tahun 2025, yang sejalan dengan upaya Indonesia dalam memenuhi komitmen pengurangan emisi karbonnya sesuai dengan Perjanjian Paris. Menurut Cuk Supriyadi Ali Nandar, Kepala Organisasi Riset Energi dan Manufaktur BRIN, transisi energi tidak hanya tentang pengalihan dari energi fosil ke energi terbarukan, tetapi juga merupakan bagian dari upaya untuk menekan perubahan iklim dan menyelamatkan kehidupan di bumi.
Ahmad Syukri menambahkan bahwa transisi energi yang berkeadilan harus menjadi prioritas pemerintah. Hal ini meliputi keadilan rekognisi, keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan restoratif, yang semuanya bertujuan untuk memastikan bahwa program transisi energi tidak memperburuk ketimpangan sosial dan lingkungan.