KabarKalimantan.id — Festival Warisan Budaya Nusantara yang digelar oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV bekerja sama dengan Otorita Ibu Kota Nusantara (IKN) sukses menyajikan serangkaian pertunjukan yang memukau, menampilkan kekayaan tradisi masyarakat Kalimantan Timur. Festival ini berlangsung pada 7-9 November 2024 di Plaza Balikpapan, dan menampilkan sembilan tradisi dari berbagai etnis dan komunitas yang mendiami Kota Nusantara dan sekitarnya, seperti Paser, Kutai, Kenyah, dan Benuaq.
Puncak acara pada Sabtu malam, 9 November, dimeriahkan oleh penampilan para penari Kenyah dari Sanggar Tari Bangen Tawai, Desa Sungai Bawang, Muara Badak, Kutai Kartanegara. Mereka mempersembahkan dua tarian ikonik, Tarian Kancet Lasan dan Datun Ngentau, yang menggambarkan gerakan anggun burung enggang. Dengan iringan petikan sampe, alat musik tradisional khas Kenyah, tarian ini mampu memukau penonton yang berhenti sejenak dari aktivitas mereka di pusat perbelanjaan Balikpapan Plaza. Bahkan, banyak pengunjung dari lantai dua plaza turut menyaksikan dan mengapresiasi pertunjukan tersebut.
“Meski ditarikan di panggung kecil, pesona tariannya tetap luar biasa,” ungkap Alfian Tamzil, jurnalis kawakan dari Kota Minyak, Balikpapan.
Sungai Bawang, yang dikenal sebagai desa budaya, menjadi salah satu destinasi wisata budaya di Kutai Kartanegara. Warga setempat, mayoritas orang Kenyah, secara rutin menampilkan seni budaya mereka seperti tari-tarian tradisional sebagai bentuk pelestarian dan promosi pariwisata.
Selain penampilan para penari Kenyah, penonton juga dihibur oleh tarian Gantar dari etnis Benuaq, yang dibawakan oleh Sanggar Pokat Takaq, juga dari Kutai Kartanegara. Tari ini menggambarkan gerakan yang dinamis dan penuh kegembiraan, sejalan dengan karakteristik masyarakat Benuaq yang ceria dan bersahabat. Tarian ini juga menjadi simbol penutup acara, di mana para penari dan penonton bergabung di atas panggung untuk menari bersama.
Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIV, Titit Lestari, menjelaskan bahwa tari Gantar memang memiliki nilai sosial yang dalam, karena pada masa lalu, tarian ini sering dipertunjukkan dalam pergaulan masyarakat Benuaq, baik untuk hiburan maupun sebagai bagian dari acara adat.
Selain tarian, festival ini juga menampilkan penampilan ritual balian dari Sanggar Pokat Takaq, di mana dua balian Sentiyu memukau penonton dengan mantra dan musik ritmis yang mengiringi pertunjukan mereka. Balian, sebagai tokoh spiritual yang dipercaya dapat berhubungan dengan dunia roh, memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Kalimantan. Mereka tidak hanya bertindak sebagai penyembuh, tetapi juga sebagai pemimpin upacara adat, seperti saat menanam atau memanen padi.
Penonton, termasuk anak-anak, tampak terpesona dan bahkan membuat lingkaran untuk menari bersama para balian. “Ritual balian yang sebenarnya bisa berlangsung sepanjang malam, dan tujuannya untuk menyembuhkan orang sakit atau menjaga masyarakat dari roh-roh jahat,” jelas Alfian Tamzil.
Tak kalah menarik, festival ini juga menampilkan tradisi lisan besoyong dari etnis Paser. Pada malam pembukaan, 7 November, balian Suwis memeragakan ritual dengan tampah yang berisi beras kuning, minyak kelapa, daun biowo, dan dupa dari kayu karambulu. Mantra Paser dipercaya memiliki kekuatan untuk memanggil hujan, menyembuhkan penyakit, dan mengusir roh jahat.
“Suaranya sayup-sayup, tapi tetap memberi suasana magis yang khas,” kata Julak Alfi, yang juga dikenal sebagai Alfian Tamzil, sambil mengingatkan bahwa tradisi ini adalah warisan yang patut dijaga agar tidak hilang seiring waktu.
Tidak hanya tarian dan ritual, festival ini juga menyajikan tarsul, sebuah syair ala pantun dari etnis Kutai yang kini sudah mayoritas beragama Islam. Syair yang dibawakan oleh maestro Syaiful Anwar ini berisi nasihat kehidupan yang penuh hikmah, disampaikan dengan irama yang membangkitkan semangat.
Musisi sampe, Uyau Moris, membuka dan menutup rangkaian pertunjukan dengan alunan musik sampe yang memukau. Di tangan Uyau, alat musik tradisional tersebut mampu bercerita tentang kampung halaman di hulu sungai, menyentuh hati penonton dengan lagu-lagu seperti Kala Cinta Menggoda dari Chrisye dan Sempurna dari Andra and The Backbone, yang berhasil membuat penonton berdiri dan bernyanyi bersama.
Festival ini tidak hanya bertujuan untuk memperkenalkan kekayaan budaya Kalimantan Timur, tetapi juga untuk mengedukasi masyarakat, terutama generasi muda, tentang pentingnya pelestarian warisan budaya. “Dengan adanya lokakarya dan diskusi, kami berharap masyarakat bisa memahami lebih dalam tentang apa yang mereka saksikan di panggung dan pentingnya menjaga tradisi ini,” kata Aji Maya Melati, maestro penari topeng Kemindu dari Keraton Kutai.
Selain pertunjukan seni, festival ini juga menampilkan peragaan busana dari desainer muda Kalimantan, Nadhila Shabrina. Koleksi busana bertajuk Pragyan Kalamtana (Penjelajah Tanah Kalimantan) ini menampilkan pakaian dengan desain yang terinspirasi dari kekayaan alam dan budaya Kalimantan. Busana ini dipadukan dengan motif batik ampiek yang menjadi ciri khas wilayah Borneo.
Festival Warisan Budaya Nusantara ini juga melibatkan komunitas Semangat Muda Tuli (Semut) Balikpapan dan Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel Indonesia (SIGAP) Kaltim, memberikan ruang bagi semua kalangan untuk berpartisipasi dan menghargai keberagaman budaya.
Deputi Bidang Sosial Budaya dan Pemberdayaan Masyarakat Otorita IKN, Alimuddin, menegaskan bahwa melalui festival ini, mereka tidak hanya mengenalkan kekayaan budaya, tetapi juga berupaya membangkitkan ekonomi masyarakat sekitar Nusantara. “Festival ini adalah wujud komitmen kami untuk mempromosikan budaya lokal sekaligus mendukung pengembangan ekonomi berbasis budaya di wilayah Ibu Kota Nusantara,” ujar Alimuddin.
Festival ini tidak hanya menjadi ajang untuk mengenal lebih dekat tradisi dan kebudayaan Kalimantan, tetapi juga menjadi simbol persatuan dan penghargaan terhadap keragaman. Dengan berakhirnya festival, semangat untuk melestarikan warisan budaya Nusantara tetap hidup dan menjadi tanggung jawab bersama.