KabarKalimantan.id — Wakil Ketua DPRD Kalimantan Selatan, Desy Oktavia Sari, menggalang dukungan publik untuk merawat budaya lokal sekaligus memperkuat perlindungan terhadap perempuan dan anak.
“Saya menginisiasi sosialisasi Peraturan Daerah sebagai wujud konkret komitmen tersebut, khususnya Perda Kalsel Nomor 4 Tahun 2017 dan Perda Nomor 11 Tahun 2018,” ujarnya saat ditemui di Banjarmasin, Senin.
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2017 mengatur tentang Budaya Banua dan Kearifan Lokal, sementara Perda Nomor 11 Tahun 2018 menitikberatkan pada Pemberdayaan Perempuan serta Perlindungan Anak di Provinsi Kalimantan Selatan yang kini dihuni lebih dari empat juta jiwa, tersebar di 13 kabupaten dan kota.
Politikus perempuan dari Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut menegaskan bahwa kegiatan sosialisasi peraturan (Sosper) merupakan upaya strategis menumbuhkan kesadaran masyarakat atas isu kebudayaan dan sosial yang kian mendesak.
Di Kabupaten Tapin, tepatnya di Desa Banua Hanyar Hulu dan Kakaran, kegiatan Sosper dilaksanakan pada 2 hingga 4 Mei 2025. Dalam kesempatan itu, ia menekankan urgensi melestarikan budaya lokal di tengah gempuran modernitas serta pentingnya penguatan peran perempuan dan perlindungan terhadap anak-anak.
“Melalui kegiatan ini, kami ingin masyarakat memahami nilai penting menjaga dan mengembangkan budaya banua. Juga, menanamkan pemahaman akan urgensi pelestarian kearifan lokal, terutama khasanah yang tumbuh di tanah Kalsel,” tegasnya.
Wakil rakyat dari Dapil Kalsel IV yang meliputi Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan (HSS), dan Hulu Sungai Tengah (HST) ini menyatakan bahwa budaya Banua bukan semata-mata berkaitan dengan tarian atau bahasa. Lebih dari itu, ia mencakup nilai-nilai luhur yang diwariskan lintas generasi.
“Merawat budaya sejatinya merawat identitas dan martabat kolektif masyarakat Kalimantan Selatan,” ujar perempuan muda kelahiran Rantau, ibu kota Kabupaten Tapin yang berjarak sekitar 117 kilometer dari Banjarmasin.
Menyinggung implementasi Perda 11/2018, Desy menyoroti tingginya angka pernikahan dini dan perceraian yang kian mengkhawatirkan.
“Kami ingin masyarakat memahami dampak sistemik dari praktik pernikahan dini serta perceraian terhadap keberlangsungan masa depan perempuan dan anak-anak,” imbuhnya.
Ia melanjutkan bahwa pemberdayaan perempuan tidak semata soal kemandirian ekonomi. Lebih dari itu, pemberdayaan harus membuka ruang partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan baik di ranah domestik maupun sosial.
Sementara itu, perlindungan anak, katanya, wajib dilaksanakan secara holistik—meliputi aspek pendidikan, kesehatan, hingga lingkungan sosial yang mendukung tumbuh kembang mereka secara optimal.
Dalam kegiatan tersebut, masyarakat menunjukkan antusiasme tinggi. Sejumlah warga bahkan mengajukan pertanyaan langsung terkait peran strategis tokoh masyarakat dan keluarga dalam penerapan kedua peraturan daerah tersebut.
Dengan pendekatan yang inklusif, Desy berharap keberadaan Perda tidak sekadar dimengerti, tetapi benar-benar diterapkan dalam keseharian masyarakat.